Gemercik hujan turun membasahi tanah merah tempat Bunda
disemayamkan, butiran debu-debu yang berterbangan melepas kepergian Bunda. Tangisanku
kembali jatuh tak tertahan meski berulah kali Papa memohon dan meminta aku
untuk kuat dan mau ikut bersamanya
kembali ke rumah untuk beristirahat. Aku tetap diam tak menghiraukan
setiap pembicaraan orang-orang di sekitarku yang iba melihatku duduk disamping
tempat terakhir Bunda dengan batu nisan dipelukanku.
Ketika malam tiba tanpa seorangpun yang menemani aku
sejak senja tadi, aku menarik nafas sedalam mungkin,membulatkan niatku untuk
kembali kerumah meski kakiku masih saja gemetar tak kuasa berdiri, namun aku
memaksa,melawan semua kesedihan ini, aku bangun namun air mata tetap tak
terbendung.
Keesokan harinya, aku menggigil dan berteriak keras,
dengan segera Ayah menghampiriku penuh cemas, namun mulutku hanya terbuka untuk
mengucap kalimat yang sudah berulang kali kuucap “Bunda, Aku takut”, Ayah, The Sarah,
dan Tante Nina semakin khawatir saja mereka membentuk lingkaran dihadapanku
untuk memeluk hangat tubuhku. Satu per satu dari mereka mencoba menenangkanku
namun aku tak mampu melihat sedikitpun sinar, semua menjadi semu,gelap,dan
hilang.
Entah berapa hari aku tertidur, rasanya panjang sekali
namun aku merasa membaik, aku merasa sosok bunda kembali hadir disampingku,
memelukku dan mengobati semua ketakutan yang aku rasakan selama ini. Namun, aku
kehilangan kehangatan Ayah, Aku merasa telah jauh darinya, sendiri, sepi, dan
rindu. Aku seperti telah masuk kea lam yang baru tanpa Ayah.
Namun, tiba-tiba tubuhku menerima rangsang dingin yang
luar biasa, Sentuhan tangan lembut itu menyentuh pundakku, sentuhan yang sering
kali kurasakan ketika Bunda masih ada,aku menoleh namun aku tak yakin dengan
apa yang sedang kulihat “Bunda?”, tetapi Bunda tak menjawab ia hanya tersenyum
lalu menarik tanganku untuk pergi bersamanya ke tempat yang sangat indah. Ini bukan
mimpi, ini nyata, aku semakin heran saja lalu aku bertanya kepada Bunda “Aku
dimana Bunda? Kenapa Ayah tak ikut bersama kita?” Bunda hanya kembali menarik
lenganku dan melanjutkan langkah perjalanan kami. Tiba-tiba mataku terfokus
kepada secarik kertas yang terjatuh tepat dihadapanku. Ini adalah tulisan Ayah.
Aku
kehilangan 2 Bidadari dalam hidupku
Wanita
yang selama ini mewarnai hidupku
Kini pergi
satu per Satu
Karena
penyakit itu, penyakit menurun yang ganas,hemofili
Itu adalah
suratan takdir
Aku tak
mampu menyelamatkan mereka
Kini,Mereka
pergi tanpaku
Ingin aku menangis membaca
kenyataan itu aku tak pernah pergi berpamitan kepada Ayah mengapa aku tega,
Bunda juga kami disini berdua, Ayah pasti kesepian, tidak ada lagi yang
menemani Ayah. Namun, Ayah meski alam kita berbeda Aku tetap menyayangimu. Terimakasih Ayah atas
surat yang kau kirim kepadaku kini aku bias tenang pergi bersama Bunda
melanjutkan perjalanan kami ke tempat yang indah itu.
0 komentar:
Posting Komentar